Hal ini masih banyak yang mempertanyakan, sehubungan masalah ini memang bersinggungan dengan area yang sangat Intim, pokok-pokok aurat yang sangat disembunyikan oleh kaum perempuan, sehingga seolah-olah tiada yang patut melihat, memegang, selain kita sendiri. Oleh sebab itu masih banyak pertanyaan yang di ajukan oleh kaum Muslimah berkaitan dengan hukum ini. Pada dasarnya syari’at sudah memiliki pondasi pada Ayat berikut :
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُو جِهِمْ حَفِظُونَ إِلاَّ عَلَى أَزْوَجِهِمْ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَنُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُمَلُومِينَ
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela.” [Qs. Al-Ma’arij: 29-30]
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنَا هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ الْجَنَابَةِ غَسَلَ يَدَيْهِ وَتَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ اغْتَسَلَ ثُمَّ يُخَلِّلُ بِيَدِهِ شَعَرَهُ حَتَّى إِذَا ظَنَّ أَنَّهُ قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ وَقَالَتْ كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ نَغْرِفُ مِنْهُ جَمِيعًا
Telah menceritakan kepada kami 'Abdan berkata, telah mengabarkan kepada kami 'Abdullah berkata, telah mengabarkan kepada kami Hisyam bin 'Urwah dari bapaknya dari 'Aisyah berkata,: Adalah Nabi Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. jika mandi janabat, mencuci tangannya dan berwudlu' sebagaimana wudlu' unmtuk shalat. Kemudian mandi dengan menggosok-gosokkan tangannya ke rambut kepalanya hingga bila telah yakin merata mengenai dasar kulit kepalanya Beliau mengguyurkan air ke atasnya tiga kali. Lalu membasuh seluruh badannya. 'Aisyah berkata,: Aku pernah mandi bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. dari satu bejana dimana kami saling mengambil (menciduk) air bersamaan.[HR.bukhari No : 264]
Ibnu ‘Urwah al Hanbali rahimahullah berkata dalam mengomentari hadits di atas, “Dibolehkan bagi setiap pasangan suami istri untuk memandang seluruh tubuh pasangannya dan menyentuhnya hingga farji’ (kemaluan), berdasarkan hadits ini. Karena farji’ istrinya adalah halal baginya untuk dinikmati, maka dibolehkan pula baginya untuk memandang dan menjamahnya seperti anggota tubuhnya yang lain.” [Lihat al-Kawaakib (579/29/1]. Para ulama sepakat akan bolehnya menyentuh kemaluan istri. Ibnu ‘Abidin Al-Hanafi berkata :
سَأَل أَبُو يُوسُفَ أَبَا حَنِيفَةَ عَنِ الرَّجُل يَمَسُّ فَرْجَ امْرَأَتِهِ وَهِيَ تَمَسُّ فَرْجَهُ لِيَتَحَرَّكَ عَلَيْهَا هَل تَرَى بِذَلِكَ بَأْسًا ؟ قَال : لاَ ، وَأَرْجُو أَنْ يَعْظُمَ الأَْجْرُ
“Abu Yuusuf bertanya kepada Abu Hanifah rahimahullah- tentang seseorang yang memegang kemaluan istrinya, dan sang istri yang menyentuh kemaluan suaminya agar tergerak syahwatnya kepada sang istri, maka apakah menurut anda bermasalah?. Abu Hanifah berkata, “Tidak mengapa, dan aku berharap besar pahalanya” [Haasyiat Ibni ‘Aabidiin 6/367, lihat juga Al-Bahr Ar-Raaiq syarh Kanz Ad-Daqoiq 8/220, Tabyiinul Haqo’iq 6/19]
Pernyataan sebagian fuqohaa yang menunjukkan akan bolehnya mencium kemaluan (vagina) wanita. Hal ini sangat ditegaskan terutama di kalangan para ulama madzhab Hanbali, dimana mereka menjelaskan akan bolehnya seorang suami mencium kemaluan istrinya sebelum berjimak, akan tetapi hukumnya makruh setelah berjimak [lihat Kasyaaful Qinaa’ 5/16-17, Al-Inshoof 8/27, Al-Iqnaa’ 3/240].
Al-Mil-bariy Al-Fananiy (dari kalangan ulama abad 10 hijriyah) dari madzhab As-Syafi’iyah dalam menyikapi permasalahan semacam ini berkata dengan gamblang seperti berikut :
يَجُوزُ لِلزَّوْجِ كُل تَمَتُّعٍ مِنْهَا بِمَا سِوَى حَلْقَةِ دُبُرِهَا ، وَلَوْ بِمَصِّ بَظْرِهَا
“Boleh bagi seorang suami segala bentuk menikmati istrinya kecuali lingkaran dubur, bahkan meskipun mengisap kiltorisnya” (Fathul Mu’iin bi Syarh Qurrotil ‘Ain bi Muhimmaatid diin, hal 482, terbitan Daar Ibnu Hazm, cetakan pertama tahun 1424 H-2004 H, Tahqiq : Bassam Abdul Wahhaab Al-Jaabi). Bahkan ada sebagian fuqoha yang menyatakan bolehnya lebih dari sekedar mencium. Yaitu bahkan dibolehkan menjilat kemaluan sang istri.Al-Hatthab rahimahullah berkata :
قَدْ رُوِيَ عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ قَال : لاَ بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى الْفَرْجِ فِي حَال الْجِمَاعِ ، وَزَادَ فِي رِوَايَةٍ : وَيَلْحَسَهُ بِلِسَانِهِ ، وَهُوَ مُبَالَغَةٌ فِي الإِْبَاحَةِ ، وَلَيْسَ كَذَلِكَ عَلَى ظَاهِرِهِ
“Telah diriwayatkan dari Imam Malik –rahimahullah- bahwasanya ia berkata, “Tidak mengapa melihat kemaluan tatkala berjimak”. Dan dalam riwayat yang lain ada tambahan, “Ia menjilat kemaluan istrinya dengan lidahnya”.Dan ini merupakan bentuk mubalaghoh (sekedar penekanan) akan bolehnya, namun bukan pada dzhohirnya” [Mawahibul Jaliil 5/23].
وَلِلزَّوْجِ) وَالسَّيِّدِ فِي حَالِ الْحَيَاةِ (النَّظَرُ إلَى كُلِّ بَدَنِهَا) أَيْ الزَّوْجَةِ وَالْمَمْلُوكَةِ الَّتِي تَحِلُّ وَعَكْسُهُ، وَإِنْ مَنَعَهَا كَمَا اقْتَضَاهُ إطْلَاقُهُمْ، وَإِنْ بَحَثَ الزَّرْكَشِيُّ مَنْعَهَا إذَا مَنَعَهَا وَلَوْ الْفَرْجَ لَكِنْ مَعَ الْكَرَاهَةِ وَلَوْ حَالَةَ الْجِمَاعِ
dan untuk suami dan sayyid (tuannya budak) di waktu hidup boleh melihat semua anggota tubuh istri dan budaknya ,di mana itu di halalkan bagi suami , dan sebaliknya walaupun suami mencegah istri untuk melihat auratnya, seperti penetapan kemutlaqan ulama', dan walaupun az zarkasyi membahas mencegah istri (untuk melihat aurat suami) bila suami melarangnya . Dan (boleh bagi suami melihat semua tubuh istri) walaupun farjinya, akan tetapi disertai kemakruhan, walaupun di tingkah hubungan intim.[tuhfatul muhtaj 7/206]
(قَوْلُهُ: وَإِنْ بَحَثَ إلَخْ) غَايَةٌ (قَوْلُهُ: وَإِنْ بَحَثَ الزَّرْكَشِيُّ إلَخْ) اعْتَمَدَهُ الْمُغْنِي وَالنِّهَايَةُ فَقَالَا وَاللَّفْظُ لِلْأَوَّلِ قَالَ الزَّرْكَشِيُّ وَلَا يَجُوزُ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَنْظُرَ إلَى عَوْرَةِ زَوْجِهَا إذَا مَنَعَهَا مِنْهُ بِخِلَافِ الْعَكْسِ اهـ وَهَذَا ظَاهِرٌ، وَإِنْ تَوَقَّفَ فِيهِ بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ اهـ.
(قَوْلُهُ: مَنَعَهَا إلَخْ) فَإِنْ مَنَعَهَا حَرُمَ عَلَيْهَا النَّظَرُ لِمَا بَيْنَ سُرَّتِهِ وَرُكْبَتِهِ اهـ بُجَيْرِمِيٌّ عَنْ الزِّيَادِيِّ وَفِي ع ش عَنْ سم عَنْ م ر مَا يُوَافِقُهُ (قَوْلُهُ وَلَوْ الْفَرْجَ) إلَى التَّنْبِيهِ فِي النِّهَايَةِ وَالْمُغْنِي إلَّا قَوْلَهُ وَعَلَيْهِ يَنْبَغِي إلَى وَخَرَجَ (قَوْلُهُ: وَلَوْ الْفَرَجَ إلَخْ) رَاجِعٌ إلَى الْمَتْنِ
perkataan mushannif walaupun az zarkasyi membahasnya itu ghoyah (in ghoyah menandakan khilaf) begitu juga khotib asy sarbini ,imam romli dalam kitab mughni dan nihayah mengikuti pendapat az zarkasyi, berkata az zarkasyi tidak boleh bagi istri melihat aurat suami bila suami mencegahnya, berbeda bila sebaliknya ( suami boleh melihat aurat istri walaupun istri mencegah) dan ini jelas,walaupun sebagian ulama' muta'akhirin tidak membahasnya .
perkataan mushannif مَنَعَهَا إلَخْ bila suami mencegah istri (melihat aurat suami) maka haram bagi istri untuk melihat di antara pusar sampai lutut suami . selesai bujairomi dari az ziyadi, begitu juga imam romli dan ali syibromilisi yang mencocoki pendapat az zarkasyi. perkataan mushannif walaupun farji, begitu juga di tutur dalam kitab at tanbih, nihayah, mughni. [حاشية الشرواني 7/2006 ]
Maka suami boleh melihat dan menikmati seluruh anggota tubuh istrinya. Sebagaimana Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir rahimahullah Memaparkan ketika menafsirkan surat “an-Nuur ayat 31”, “Adapun suami, maka semua ini (bolehnya menampakkan perhiasan dan perintah menundukkan pandangan dari orang lain) memang diperuntukkan baginya (yakni suami). Maka seorang istri boleh melakukan sesuatu untuk suaminya, yang tidak boleh dilakukannya di hadapan orang lain.” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir III/284].
Wallahu A’lam
Referensi: www.iqro.net
0 comments:
Posting Komentar